Cendana, atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil kayu cendana dan
minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa,
aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang
baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Konon di Sri Lanka
kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad
ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur,
khususnya di Pulau Timor, meskipun sekarang ditemukan pula di Pulau Jawa
dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal kehidupannya. Kecambahnya
memerlukan pohon inang untuk mendukung pertumbuhannya, karena
perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung kehidupannya. Karena
prasyarat inilah cendana sukar dikembangbiakkan atau dibudidayakan.
Kayu cendana wangi (Santalum album) kini sangat langka dan harganya
sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India selatan
biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di Indonesia, kayu
cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya sejumlah pakar
aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum
spicatum). Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang
dikandungnya, dan oleh karena itu kadar harumnya pun berbeda.
Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif untuk membawa orang lebih
dekat kepada Tuhan. Minyak dasar kayu cendana, yang sangat mahal dalam
bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan cara
Ayurveda, dan untuk menghilangkan rasa cemas.
Pengembangan Tanaman Cendana
Pemilihan Umum 2009 memiliki asas One Man One Vote. Bersamaan dengan
momentum Pemilu 2009, Presiden menargetkan, bangsa Indonesia harus bisa
menanam One Man One Tree yang sudah dimulai sejak awal Februari 2009.
Kegiatan menanam pohon sebetulanya sudah dimulai sejak tahun 2007.
Targetnya pun berbeda setiap tahunnya. Tahun 2007, harus menanam 79 juta
bibit pohon, realisasinya 86,9 juta pohon. Berikutnya, pada 2008,
target 100 juta bibit pohon, ternyata berhasil menanam 109 juta
pohon.Tahun 2009 ini targetnya, sesuai dengan jumlah penduduk Indonesia,
230 juta jiwa, Bangsa Indonesia harus menanam sebanyak 230 juta pohon.
Berkaitan dengan One Man One Tree, tanggal 12 Februari 2009 lalu,
Menteri Kehutanan, M.S. Kaban bersama Gubernur Nusa Tenggara Timur telah
melakukan penanaman dan pencanangan pengembangan tanaman Cendana.
Penanaman Cendana ini dilakukan di Desa Ponai, Kecamatan Amarasi,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pertimbangan menanam Cendana di
Desa Ponai, selain kondisi dan waktu, juga didukung musim hujan masih
sangat baik. Akses jalan menuju lokasi pun cukup baik. Selain itu, di
Desa Ponai telah ada Kelompok Tani Cendana binaan Balai Penelitian
Kehutanan Kupang yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas
Nusa Cendana. Program rehabilitasi pohon Cendana di Nusa Tenggara Timur,
adalah prakarsa Menteri Kehutanan di tahun 2006.
Saat pencanangan, telah dipersiapkan areala seluas 1,7 hektar dan bibit
Cendana sebanyak 1.200 batang. Sebelumnya, pada minggu ketiga, Desember
2008 telah ditanam sebanyak 7.700 bibit Cendana yang disiapkan BPK
Kupang dan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta di areal seluas 5,3 hektar di pekarangan dan
kebun Masyarakat.
Untuk kesiapan bibit, sampai dengan September 2008, bibit generatif di
BPK Kupang sebanyak 10.000 batang dan siapa tanam pada bulan Desember
2008 . Sementara, BPDAS Benain Noelmina Kupang, juga memiliki bibit
generatif sebanyak 20.000 batang yang siap ditanam pada bulan Desember
2008 lalu.
Sedangkan bibit vegetatif dengan kultur jaringan, B2PBPTH Yogyakarta
telah menyiapkan sebanyak 700 batang dan siap tanam pada pertengahan
tahun 2009 ini. Sementara bibit Cendana dengan kultur jaringan dari
Puslit Bioteknologi LIPI saat ini baru dalam tahap multiplikasi dan baru
siap tanam pada akhir tahun 2009 nanti.
Tanaman ini bisa tumbuh pada ketinggian 50 -1200 m dpl, dengan curah
hujan 625 1625 mm/th dengan bulan kering 9-10 bulan. Saat ini populasi
Cendana sangat mengkhawatirkan, terancam punah. Dari tahun 1987 – 1997,
populasi pohono Cendana di NTT mengalami penurunan hingga 53,96%.
Kata Cendana, identik dengan wewangian untuk perawatan tubuh wanita. Ada
minyak Cendana, rempah-rempah, aromatherapy, campuran parfum atau bahan
dupa. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi
Nusa Tenggara Timur, seperti Pulau Timor, Sumba, Alor, Solor, Pantar,
Flores, Roti dan pulau-pulau lainnya. Cendana juga bisa dijumpai di
Gunung Kidul, Imogiri, Kulon Progo, Bondowoso dan Sulawesi.
Cendana adalah, tanaman komoditi dan potensial bagi perekonomian di
Indonesia. Nilai ekonomi itu didapat dari kandungan minyak (santalo)
dalam kayu yang beraroma wangi yang khas. Melalui penyulingan, minyak
Cendana dapat digunakan sebagai perawatan tubuh, obat-obatan dan bahan
minyak wangi atau parfum tadi. Kayunya juga bernilai ekonomi, dapat
digunakan sebagai kerajinan ukiran, patung, kipas, tasbih dan lain-lain.
Saat ini minyak Cendana banyak di ekspor ke Eropa, Amerika, China,
Korea, Taiwan dan Jepang. Untuk produk kerajinan kayunya, masih untuk
konsumsi dalam negeri saja. Setiap tahun, kebutuhan minyak Cendan dunia,
sekitar 200 ton. Dari jumlah tadi, kebanyakan disuplai dari India, yait
100 ton (50 %). Sisanya dari Indonesia, Australia, Kaledonia Baru dan
Fiji, masing-masing mensuplai 20 ton, jadi masing kekurangan sekitar 80
ton per tahunnya.
Jadi, Indonesia masih punya peluang untuk memenuhi kebutuhan Cendana dunia.
Cendana, Antara Punah dan Pelestarian
CENDANA merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang pernah
terkenal di seantero dunia. Tanah NTT juga mencatat hal itu.
Keterkenalan cendana bukan karena namanya tetapi karena wewangiannya.
Karena itu pula cendana di mata sebagian orang Timor dikenal sebagai
pohon wangi sesuai nama kampungnya: haumeni. Tetapi, sebagian orang
Timor juga menyebutnya dengan nama: hau tam lasi yang secara harafiah
dapat dimengerti sebagai kayu pembawa masalah/perkara. Makna terakhir
muncul bersamaan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menutup
pemanfaatan cendana oleh masyarakat. Sebab, dalam kenyataannya, banyak
orang yang menjadi korban kebijakan pemerintah terkait cendana. Ada yang
dihukum secara adat melalui penyelesaian secara kekeluargaan.
Dalam urusan ini, warga yang dianggap melanggar aturan/kebijakan tentang
pemanfaatan cendana, dihukum denda dengan membayar sarung tenunan
daerah, binatang dan uang dalam jumlah tertentu. Tetapi, ada warga yang
terpaksa harus menjalami proses hukum mulai dari penyidikan, penuntutan
hingga pemeriksaan di pengadilan. Padahal, kalau mau dibilang, bila
cendana dimanfaatkan secara baik oleh petani akan mendatangkan
keuntungan ekonomis yang tidak sedikit bagi masyarakat. Sebaliknya, yang
untung adalah pemerintah maupun oknum aparat penegak hukum. Sebab, bila
oknum aparat pemerintah dan penegak hukum ketahuan menjual cendana,
pasti tidak diproses secara hukum. Hal itulah yang kemudian menjadi
ironi bagi masyarakat.
Sebaliknya, cendana sebagai pohon wangi, haumeni, sebetulnya merupakan
salah satu komoditi utama perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu.
Namun, tanpa disadari, populasi cendana semakin hari semakin menurun.
Sebab, ternyata tidak ada keseimbangan antara pemanfaatan dan
pelestarian.
Gubernur NTT periode 1994-1999 Herman Musakabe sekali waktu mengatakan,
tanaman cendana di Pulau Sumba sudah punah, sedangkan di Pulau Timor
nasib cendana mungkin akan serupa apabila tidak ada upaya untuk
melakukan penyelamatan.
Padahal, jauh sebelumnya, upaya-upaya penyelamatan sudah dilakukan
melalui budidaya cendana. Malahan sudah lebih dari seratus tahun lalu,
meskipun dalam skala kecil. Pada abad ke-20, beberapa lokasi pernah
melakukan pengembangan cendana antara lain di Bu’at (Timor Tengah
Selatan/TTS) pada tahun 1958, BKPH Buleleng Barat pada 1967, dan sekitar
Puri Uluwatu pada 1982. Upaya serupa pernah dilakukan di Kediri
tepatnya di Gunung Klotok dan Sanggrahan), Malang di Jantur dan
Songgoriti, Karangmojo di Gunung Kidul, Ngawi, Bromo, Karanganyar,
Imogiri dan Jember di Sempolan.
Menurut sejumlah ahli botani, tanaman cendana malahan sudah
dibudidayakan di TTS sejak tahun 1924. Yang menjadi persoalan saat ini,
populasi tanaman cendana semakin hari semakin menurun baik di hutan alam
maupun di lahan petani. Penurunan populasi ini menyebabkan penurunan
produksi dan nilai ekspor.
Dalam penelitian yang dilakukan Meine van Noordwijk dkk pada 2001,
terungkap bahwa penyebab penurunan populasi cendana di dua area itu
karena: Pertama, pembakaran hutan. Pembakaran hutan terjadi setiap
tahun. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sistem pertanian tradisional
tebas-bakar yang masih dipegang teguh measyarakat setempat saat membuka
ladang. Sistem bakar ikut memusnahkan tanaman cendana.
Kedua, rendahnya harga cendana. Rendahnya harga cendana sesuai penetapan
pemerintah. Hal ini ikut mendorong penebangan liar, perdagangan liar,
penyelundupan dan pencurian. Dalam banyak praktek, harga cendana yang
ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.000,00/kg. Sedangkan pengusaha
menawarkan harga Rp 15.000-25.000,00/kg. Di sini terlihat, betapa
rendahnya harga cendana yang ditetap pemerintah dibanding harga yang
ditawarkan pengusaha. Secara tidak langsung, cendana tidak mempunyai
manfaat ekonomis apa pun bagi petani.
Ketiga, penggalian akar cendana. Penggalian akar cendana banyak
dilakukan masyarakat karena bagian akar mempunyai kandungan minyak
cendana yang paling tinggi sehingga harganya termahal. Akibat
pengambilan akar tersebut, banyak tegakan cendana yang roboh dan
regenerasi vegetatif secara alami dengan tunas akar menjadi terganggu.
Keempat, eksploitasi berlebihan. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan
selama ini sangat berlebihan. Hal itu diperparah dengan upaya pembiaran
atau tidak ada upaya penanaman kembali. Kelima, kebijakan yang
merugikan. Dalam kenyataan, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
melalui Peraturan Daerah (Perda) bukannya menguntungkan petani atau
masyarakat tetapi banyak merugikan. Karena kebijakan yang ada dirasa
tidak menguntungkan, masyarakat kemudian memusnahkan semai cendana di
lahan miliknya baik di pekarangan, kebun maupun pada sistem ladang
berpindah.
Keenam, pertumbuhan lambat. Masa tunggu panen cendana ternyata cukup
lama, yakni berkisar antara 30-35 tahun. Hal ini membuat petani enggan
menanam cendana. Ketujuh, anggapan masyarakat. Ada anggapan masyarakat
yang berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi bahwa cendana
tidak bisa dibudidayakan, melainkan tumbuh secara alami. Hal ini tentu
tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang
teknologi budidaya cendana itu sendiri.
Asal tahu saja, beberapa daerah di NTT yang pernah ditumbuhi cendana
adalah Timor, Sumba, Flores, Alor, Solor, Wetar, Lomblen dan Rote.
Cendana juga sudah menyebar di daerah-daerah seperti Bondowoso dan
Jember (Jawa), Bali, Gunung Kidul (DIY), Sulawesi dan Maluku.
Cendana juga ditemukan di India Selatan. Penyebaran cendana di kawasan
itu bermula dari Uttar Pradesh ke bagian selatan Karnataka dan ke barat
daya Andhra Pradesh juga ke Tamil Nadhu dan Kerala. Selanjutnya cendana
diperkenalkan ke beberapa negara tropik seperti Kepulauan Mascarene,
China, Sri Lanka dan Taiwan.
Cendana diperkenalkan di China bersamaan dengan datangnya agama Budha,
kemudian menyebar dari Tibet, Yunnan dan daerah-daerah pantai menuju ke
daerah pedalaman. Saat ini bahkan cendana sudah dibudidayakan di Afrika,
Kepulauan Pasifik dan Australia.
Cendana dapat tumbuh di daerah tepi laut hingga daerah pegunungan pada
ketinggian 1.500 meter dari permukaan air laut dengan curah hujan antara
500-3.000 milimeter per tahun. Kondisi optimal untuk pertumbuhan adalah
pada ketinggian antara 600-1.000 meter di atas permukaan air laut dan
curah hujan antara 600-1.000 milimeter per tahun dengan bulan kering
yang panjang antara 9-10 bulan.
Cendana yang tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi tidak
menghasilkan kayu dengan kualitas bagus walaupun secara vegetatif
tumbuhnya memuaskan. Suhu udara yang mendukung pertumbuhan cendana
antara 10-35 derajat celcius. Sedangkan tipe iklim yang sesuai adalah
tipe iklim D dan E.
Pada tingkat semai cendana sangat peka terhadap suhu tinggi dan
kekeringan sehingga tanaman cendana sangat membutuhkan naungan sekitar
40-50 persen. Sedangkan lingkungan yang dibutuhkan, semai cendana mudah
ditemukan di bawah lantai hutan ampupu (eucalyptus urophylla), hue
(ecalyptus alba), atau kabesak (acacia leucophloea).
Dari tingkat semai hingga umur 3-4 tahun naungan yang dibutuhkan semakin
berkurang. Cendana dewasa bahkan membutuhkan intensitas cahaya matahari
tinggi. Cendana dewasa pada umumnya ditemukan di pinggiran atau tepi
kawasan hutan, dan sangat jarang ditemukan dalam hutan lebat.
Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah berdrainase
baik (umumnya di lahan kering), bertekstur lempung (sedang) dari bahan
induk batu (topografi karst), batu pasir gampingan, batu lanau maupun
vulkanik basa dan tanahnya dangkal. Pada tanah dangkal, berbatu-baru dan
kurang subur, cendana dapat tumbuh dan menghasilkan kayu dengan
kualitas terbaik. Tetapi bagaimana menyelamatkan cendana dari ancaman
kepunahan? Mari kita rame-rame melestarikan cendana. Budidaya adalah
langkah yang tepat untuk menyelamatkan tanaman cendana.
Cara Penanaman Cendana (Santalum album Lin.) Di Lahan Savana Kerin
Dewasa ini keberhasilan tumbuh tanaman
cendana di lahan kritis savana kering NTT dirasakan masih rendah (kurang
dari 20%). Hal ini disebabkan pada awal penanaman di lapangan cendana
belum beradaptasi dengan baik karena masalah kondisi tanahnya marginal
dan kekurangan air. Masalah kekurangan air akibat curah hujan yang
rendah,waktunya pendek dan turunnya tidak teratur adalah salah satu
masalah krusial yang dihadapi setiap tahun. Untuk menangani masalah ini
maka teknik pengairan secara konvensional dengan irigasi tetes perlu
diterapkan agar tanaman cepat beradaptasi dengan lingkungan sehingga
pertumbuhannya meningkat. Pemanfaatan irigasi tetes dengan menggunakan
wadah yang murah dan mudah didapat di lokasi penanaman seperti bambu,
botol air mineral dan pot tanah serta pemanfaatan air embung,mata
air,sungai dan pemanenan air hujan perlu mendapatkan pertimbangan.
Macam Macam Irigasi Tetes di Lahan Kering.
Irigasi tetes adalah teknik penambahan
kekurangan air pada tanah yang dilakukan secara terbatas dengan
menggunakan tube (wadah) sebagai alat penampung air yang disertai lubang
tetes di bawahnya. Air akan keluar secara perlahan -lahan dalam bentuk
tetesan ke tanah yang secara terbatas membasahi tanah. Lubang tetes air
dapat diatur sedemikian rupa sehingga air cukup hanya membasahi tanah di
sekitar perakaran.
Ada beberapa teknik irigasi pada lahan kering yaitu:
- Menggenangi lahan tanaman atau antar bedengan (air tergenang dan tanah jenuh dengan air pada saat tertentu)
- Pengairan terbatas (pengairan terbatas hanya terkonsentrasi di sekitar perakaran tanaman sampai batas kapasitas lapang). Teknik pengairan terbatas meliputi : (a)Irigasi tetes modern, yaitu air dialirkan dengan pipa-pipa kapiler yang disertai lubang tetes dengan menggunakan dripper atau ro-drip ke setiap tanaman. Tenaga untuk mengalirkan air ini dengan mengunakan daya tekanan air dari mesin atau ketinggian tempat. (b)Irigasi tetes secara konvensional, adalah dengan menggunakan wadah dan air dialirkan menetes perlahan lahan melalui lubang tetes.
- Penyiraman dengan menggunakan alat penyiraman sederhana seperti gembor,ember dll.
Kegunaan Irigasi Tetes
- Untuk menghemat penggunaan air tanaman;
- Mengurangi kehilangan air yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi;
- Membantu memenuhi kebutuhan air tanaman pada awal penanaman sehingga juga akan meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman;
- Mengurangi stresing atau mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman ;
- Melakukan pemanenan air hujan lewat wadah irigasi tetes secara terbatas sehingga dapat digunakan tanaman.
TeknikPenanaman dengan Irigasi Tetes
- Tahap pertama dari kegiatan penanaman adalah penyiapan bibit di persemaian dengan menggunakan kantung plastik ukuran 15 x 20 cm yang diisi dengan media tanaman berupa campuran tanah ( top soil) :pasir 4:1.
- Penyemaian cendana dilakukan dengan penanaman biji secara langsung dengan terlebih dahulu direndam dalam air biasa selama 24 jam dan ditanam 3 biji/polibag ke dalam kantung plastik ukuran 5 x 20 cm, dengan kedalaman tanam 0,5 cm.
- Setelah biji cendana tumbuh ditinggalkan 1 tanaman yang disertai penanaman inang sekunder Alternantera sp yang dilakukan dalam satu polibag dengan cendana dalam bentuk stek pucuk (panjang stek 3 cm).
- Anakan cendana dibiarkan 1 pohon per pot. Tajuk tanaman inang dipangkas bila menaungi anakan cendana, pada umur 8 bulan dilakukan seleksi bibit dan ditanam di lapangan.
- Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan pada lahan yang telah dibersihkan dari rumput dan semak, dengan jarak tanam 3×3 m pada lubang tanam 30x30x30 cm.
- Pada saat penanaman dilakukan pemasangan wadah irigasi tetes, jarak 5 cm dari batang bawah tanaman.
- Wadah untuk irigasi tetes dapat berupa pot tanah,botol plastik, pot bambu dengan volume air 0.5-1 l. Kemudian dilubangi satu lubang dengan diameter 2 mm.
- Wadah diikat dengan kawat di ajir dan lubang tetes menghadap ke bawah dan ditimbun dengan tanah sedalam 3 cm.
- Pengairan dilakukan dengan memberikan air ke dalam wadah sebanyak 0,5-1 l yang dilakukan setiap hari bila hari sebelumnya tidak turun hujan sampai tanaman sehat .
- Bila air dalam wadah terlalu cepat habis maka lubang tetesannya diatur dengan memberikan tanah pada lubang tetes sehingga air bisa bertahan sampai 1 hari.
0 komentar:
Posting Komentar